Senin, 21 November 2016

BIARKAN AKU PERGI DENGAN SEBUAH PENGAKUAN

Ketika senja mulai melukiskan keindahannya , dan matahari terlihat sangat lelah perlahan meninggalkan bumi dengan penuh rasa kekhawatiran mencoba pergi menemui bulan untuk mengantikan penerangan dikala malam tlah datang. 
Disaat semua orang mulai bergegas untuk pulang, aku masih disini diam dalam lamunan yang tak pernah bisa aku akhiri. Setiap kali mereka menawarkan untuk pulang aku slalu bilang, “ iya nanti masih belum gelap”. Bukannya aku tak ingin pulang, tapi sebenarnya aku merindukan untuk pulang. Berkumpul bersama ayah,ibu, dan odi , aku merindukan kehangatan rumah,canda tawa, bahagia semua kenakalan odi, nasehat ayah dan yang paling aku rindukan pelukan hangat ibu. Tapi kini kemana semua itu,.... mengapa semua berubah begitu cepat, bahkan aku belum siap untuk menjalani perubahan yang semestinya tidak terjadi dihidupku. Ini sungguh tidak adil , mengapa Tuhan merebut kebahagiaanku, apa yang telah aku perbuat sehingga aku harus dipaksa untuk menerima kenyataan yang tidak seharusnya aku terima secepat ini. Aku benci ketidakadilan ini!.
***
Selasa 16 Desember 2010  satu tahun kematian odi, kakak ku yang selalu membuat kehebohan dirumah, kini ia pergi ketempat dimana dia merasa nyaman . aku sangat kehilangan sosok seperti dia. Semenjak kepergiannya, rumah begitu sepi tak ada lagi yang menjailiku, menggodaku, membuatku kesal, . Peristiwa ini bukan hanya membuat suasana rumah menjadi kaku, ada suatu hal yang membuat aku tidak pernah betah bila berada dirumah, melihat perlakuan ibu yang semakin dingin terhadapku. Setiap kali dia berbicara yang ada dibibirnya hanya odi, setiap kali dia menyuruhku untuk makan yang disebut hanyalah “ odi ayo makan, nanti kamu sakit nak,”. Dulu aku masih bisa memahami perasaan ibu yang begitu kehilangan kakak, tapi ini sudah hampir setahun kepergian nya tapi masih memanggilku dengan sebutan odi. Tidak hanya itu ayah juga demikian memperlakukanku seperti anak laki-laki seolah akulah odi mereka. Aku merasa keberadaanku hanya diakui sebagai odi , bukan ana,. Aku tahu kalian begitu menyayangi odi, sehingga keberadaanku tidak bisa kalian rasakan yang ada hanya odi dan odi dipikiran kalian.
***
Setiap hari aku jalani hari-hari penuh dengan kepura-puraan menjadi diri orang lain, menjadi sosok odi yang kalian sayangi. Membuat kepribadian ku berubah, aku anak perempuan tapi terlihat  seperti anak laki-laki. Berpakaianku , cara sikap ku, bahkan semua yang aku lakukan terlihat seperti odi kalian. Entah sampai kapan aku harus hidup didalam diri sosok odi yang kalian sayangi. Seandainya kak Odi masih Hidup, dan seandainya waktu itu, aku saja yang mati, bukan kak odi mungkin aku akan merasa bahagia karna mati dalam keadaan menjadi diri sendiri tidak seperti sekarang  hidup tapi menjadi diri orang lain.
***
Dari dulu aku memang dibanding-bandingkan dengan kak odi, anak mereka yang selalu dibanggakan, membuat prestasi disekolah, tidak seperti aku yang selalu diam tidak mengerti apa-apa. Setiap kali aku mengajak kak odi bermain ibu slalu saja melarang dengan alasan “anak perempuan tidak boleh bermain dengan anak laki, kamu harus cari teman sendiri ana jangan sibuk sendirian aja dikamar , dengan kebiasaan menyendiri mu itu “. Bagaimana mungkin aku bermain dengan anak perempuan  sementara disini tidak ada satupun penghuni yang memiliki anak seusiaku. Teman satu-satunya yang aku miliki dirumah hanya kak odi. Tapi kak odi milik ayah dan ibu, aku harus berteman dengan kesepian dan diam. Satu-satunya teman yang aku miliki hanya diluar rumah. Ketika aku diberi kesempatan bermain diluar , aku akan merasa malas untuk pulang karna dirumah tidak aku temukan kebahagian yang tulus itu, aku menemukan diriku kembali ketika aku diluar bersama mereka.
***
Sampai kapan aku harus bertahan dalam ketidakadilan ini, kapan waktunya aku disebut, disanjung oleh ibu, ana, ana, dan ana, kapan waktunya namaku memenuhi pikiran mereka, apa dengan cara aku harus pergi dengan begitu mereka akan kehilanganku dan merindukanku. Aku bisa saja lakukakan ini, tapi hatiku masih ingin pulang, berat rasanya meninggalkan mereka karna aku begitu menyayanginya, walaupun keberadaanku tidak pernah mereka rasakan. Aku selalu berpikir suatu hari nanti keadilan akan menebus semua yang sudah dia bebankan kepadaku.
***
Malam yang aku tunggu sudah tiba, matahari sudah mulai tenggelam aku bersiap untuk pulang dengan harapan ibu akan memelukku dan menyapaku dengan sebutan ana, bukan odi seperti biasanya. Harapan itu selalu ada ketika aku ingin pulang hanya saja harapan hanyalah sebuah pengharapan yang tidak akan pernah berubah sesuai keinginanku,. Namaku masih begitu berat terucapkan dibibir mereka. 

Ketika aku sampai rumah dan mengetuk pintu tiba-tiba ibu membukakan pintu untuk ku “ anak ibu, odi kamu udah pulang sayang, ayo nak makan dulu “. Merasa tidak tahan lagi dengan sikap ibu akupun mulai marah dengan nada keras aku menegaskan “ Aku bukan odimu , aku ana, anakmu juga bu” ibu langsung menamparku.  

Sakit sungguh sakit yang aku harapkan berbanding balik, tamparan itu seolah membangunkanku dari semua kepalsuan yang aku jalani selama setahun ini, aku mencoba menahan sesak didada tapi kelemahanku sebagai perempuan akhirnya menangis juga, tidak hanya itu yang aku terima malam ini ayah juga ikut memarahiku karna telah lancang bicara keras kepada ibu. aku benar-benar sudah tidak tahan, aku pergi dan lari ...

lalu ayah berkata “ biarkan dia pergi, sampai dimana dia sanggup kita liat aja, anak ini memang beda dg odi, pembangkang!!! “ tak ingin menanggapi apa kata ayah aku hanya langsung pergi meninggalkan mereka, rasanya percuma berdebat tadinya aku berbikir mereka akan mencegahku untuk pergi, ternyata salah, sekarang aku sadar keberadaanku memang tidak pernah mereka inginkan.
***
Satu hari setelah kejadian itu , aku menanti telpon dari ayah barangkali dia berubah pikiran dan mengkwatirkanku, ternyata tidak hanya sms dari teman-teman yang menanyakan dimana keberadaanku. Aku masih sabar dan bertahan hingga sampai akhirnya seminggu berlalu mereka masih mengacuhkanku. Ternyata aku memang tidak ada artinya bagi mereka, mengapa hidup ini kejam, tidak adil, aku ini anak mereka, aku juga butuh kasih sayang orangtua, aku rindu pelukan ibu, aku rindu nasehat ayah, aku rindu semua tentang rumah, tapi semua tidak merindukanku bahkan secara terang-terangan mengucilkanku, mengusir aku dari kehidupan mereka. Aku hanya menangis dan terusan menangis, sampai akhirnya aku terlelap dan tidak sanggup lagi untuk bangun.
***
Hidupku mulai terlunta-lunta, uang saku sudah tidak ada lagi, aku sangat kelaparan, pakaianku sudah mulai rusuh, muka ku sudah mulai pucat karna kelelahan dan kelaparan. Aku hanya bisa meratapi kisah hidupku sepanjang jalan. Aku benci pepatah yang pernah aku pelajari disekolah dulu “ kasih ibu sepanjang jalan” semua yang diajarkan disekolah ternyata itu hanya bohong, karna aku mengalaminya tidak aku temui kasih sayang yang seperti itu. Kaki ku sudah mulai sakit karna kecapean jalan, kepalaku benar-benar pusing dan akhirnya aku jatuh dan tak sadarkan diri.
***
Ketika aku bangun aku sudah berada pada sebuah rumah sakit, perlahan aku menyatukan setiap gambaran yang aku lihat, mencoba menebak siapa yang ada disebelahku. Dan ternyata nia sahabatku, dia menatapku penuh haru . “ kemana saja kamu ana, aku telah mencari mu aku peduli terhadapmu, “ aku hanya terus menangis sambil berkata “ kenapa kamu begitu peduli kepadaku, sementara aku tidak pernah memperdulikan siapapun, seharusnya kamu biarkan saja aku mati dijalanan, karna aku memang pantas diperlakukan seperti itu, kamu seperti ini karna kasihan kan?
Nia membalas ucapanku “ hentikan pikiran negatifmu itu terhadap orang-orang yg benar –benar menyayangimu, aku peduli terhadapmu karna kamu sudah aku anggap seperti saudara ku sendiri ana” aku hanya bisa menangis sambil memeluk nia, hatiku benar-benar sakit seseorang yang bahkan tidak sedarahpun denganku mengakui keberadanku bahkan dia menyayangiku, kenapa ayah dan ibu tidak bisa seperti ini terhadapku .
***
Seminggu tlah berlalu aku tinggal dirumah nia, disini aku mendapatkan kebahagian sejati itu, kasih sayang ibu, canda tawa semuanya ada disini, aku diperlakukan seperti anak sendiri. Setelah makan malam aku dan nia pergi kekamar untuk tidur sesampai dikamar nia mengajakku bicara, aku takut apa nia mau mengusirku karna sudha terlalu lama aku tinggal dirumahnya. “ ana, aku ingin menyampaikan suatu hal penting kepadamu, sebenarnya dari kemarin ingin aku ceritakan
“ apakah yang ingin kamu sampaikan itu, tentang pengusiranku nia” dengan raut wajah mengiba
“tidak, bukan itu yang aku maksud ana, janganlah berpikiran negatif terus, dengarkan apa yang aku sampaikan “
lalu apa, baik sampaikanlah apa itu nia? ‘
“beberapa hari yang lalu ayah mu menemuiku disekolah, dia bertanya apa aku mengetahui keberadaanmu, dia bilang ibumu sakit, dia slalu menagisimu menyesal telah bertindak tidak adil selama ini. 
Dan aku minta maaf kalau tanpa seizinmu aku memberitahukan keberadaan mu ana, aku mohon pulanglah lihat lah ibumu, bagaimanapun perempuan itu telah melahirkanmu ana. Buang rasa bencimu itu walau tidak saepenuhnya kamu bisa menghapusnya aku tahu raa sakitmu, tapi apasalahnya kamu berbakti kepada ibu kandung mu sendiri”

“nia, kamu tidak tahu rasanya jadi aku, diabaikan yang ada dipikiran mereka hanya kak odi, bukan aku lalu kenapa aku harus mengkhawatirkan perempuan itu”

“aku hanya menyampaikan sebagai sahabatmu aku tak ingin kamu salah dalam mengambil keputusan ana, apa kamu tidak takut terlambat dan menyesal nantinya “

“aku tidak takut terlambat, karna sebenarnya aku tidak pernah terlambat, hanya saja mereka yang terlambat menyadari dan mengakui keberadaanku nia,”

“baiklah, sepertinya kamu masih keras kepala, aku harap suatu hari nanti kamu bisa berbesar hati ana, yasudah mari kita tidur “

Aku tidak bisa tidur malam ini, sejujurnya dalam hati kecilku aku begitu ingin pulang, aku sangat mengkhawatirkan ibu, walaupun dia tidak pernah memperdulikanku. Tapi aku belum bisa menemuinya sekarang, aku harap dia cepat sembuh
***
Kesokan harinya nia datang membawa seseorang yang sangat aku kenal sosoknya, yah aku baru ingat dia, entahlah belakangan ini aku mulai melupakan tentang orang-orang yang menyakitiku sehingga aku terkadang susah untuk mengingatnya. Dia lelaki setengah baya yang berjalan bersama nia itu adalah ayah, apa yang dia inginkan setelah mengusirku lalu menemuiku lagi. nia pergi dan meninggalkan kami berdua “ nak, kamu pulang ya ayah sangat menyesal telah mengabaikanmu, pulang ya nak ibu sakitnya semakin parah “ bujuk ayah terhadapku.
“ apa, anda menyuruh saya pulang, dan sekarang baru meminta untuk pulang, kemana saja selama ini, apa anda tahu bahaya apa yang terjadi diluar sana, apa anda tahu saya ketakutan, kedinginan, bahkan nyawa saya hampir mati diluar sana, untung saja seseorang yang bukan keluarga sendiri merawat saya dan bahkan menganggap saya seperti anak kandungnya, lalu anda siapa hah” sambil terbata-bata dan menagis aku berkata seperti itu kepada ayah
“ cukup ana, ayah minta maaf mungkin maaf tidak cukup bagimu ayah siap menerima perlakuanmu, tapi mohon kamu temui ibumu, dia sedang sekarat dirumah sakit”
Sambil senyum sinis aku berkata” ana, rasa asing aku dengan sebutan itu, bukankah dumulut anda hanya odi, dan odi, anak kebaggaan anda, atau pikiran anda tentang odi sudah pudar atau mungkin amnesia ya”
“nak, ayah benar menyesal, ayah mohon sekali lagi kamu pulang ya nak, temui ibu. Ibumu telah menyesal dia benar-benar kehilangan kamu, dosa besar nak jika kamu mengabaikan ibu yang telah mengandungmu, “ sambil bersimpuh dan memegang kakiku ayah mencoba membujuk. Entah apa yang harus aku lakukan, apa aku menuruti keinginannya, aku juga tidak ingin kehilangan lagi orang yang aku sayangi,
baiklah aku akan menemuinya “ jawabku
***
Sesampai dirumah sakit, aku menemui perempuan itu . perempuan yang disebut ibu. Dia terlihat sangat kurus  dan kelopak matanya mulai hitam pekat. “ ana, ana anak ku dimana kamu, ibu minta maaf nak, ibu sayang kamu nak,..” mendengar kata-katanya membuat hatiku bagai disayat sembilu, perih sunggup perih tidak pernah dia mengungkapkan hal itu terhadapku. Aku mencoba memegang tangannya dan memeluknya, terasa hangat menyejukan hatiku memudarkan amarahku.

 Tiba-tiba dokter datang, ‘ maaf mengganggu , bisa kita bicara sebentar “ ,... 
“ ya tentu dok,’ jawabku.
begini  ana, ibu anda mengalami Glaukoma akut  hal ini terjadi secara mendadak dg gejala mata nyeri yg hebat,sakit kepala dan muntah-muntah. penyakitnya semakin parah ditambah dia sering menagis dan syok dan maaf ana saya berat sebenarnya menyampaikan hal ini bahwa ibu anda mengalami kebutaan permanen, kami harus melakukan operasi, untuk itu saya harap anda mencarikan pendonor mata untuknya, tapi mencari pendononor mata sangat sulit “

“ separah itukah sakit ibu saya dok,jika keputusannya begitu tidak usah mencari pendonor lain dok, saya siap meberikan kornea mata saya untuk ibu,inilah bukti terakhir saya begitu menyayangi beliau, saya ingin dia tetap bahagia menjalani hari-harinya , saya ingin dia tetap tersenyum meihat mentari pagi ‘
baiklah, jika anda bersedia mendonorkan mata anda, tapi boleh saya periksa keadaan anda dulu sepertinya anda terlihat pucat”
Aku hanya tersenyum mendengar penuturan dokter itu “ saya memang sedang sakit dok, “
“kondisi anda benar tidak baik hari ini, mari ikut saya keruangan pemeriksaan
“tidak usah repot-repot dok, saya sudah tahu apa yang saya derita, saya kanker prostat"
 “ lalu, apa orangtua anda mengetahuinya,”
sambil tersenyum aku menjawab lagi “ tidak dok, saya menyembunyikannya
 sekarang waktu saya sudah selesai, saya sudah mendapatkan pengakuan akan keberadaan saya dri orang-orang yang saya sayangi, untuk apalagi saya bertahan hidup saya sudah menemukan kebahagian itu, bukankah yang kita cari didunia ini hanya kebahagian, pengakuan, dan kasih sayang dok, saya sudah mendapatkannya lagipula saya sudah tidak tahan dengan kepura-puran dalam menahan rasa sakit ini"
***
Akhirnya aku sampai pada batasnya, dimana keadilan yang aku cari telah aku temukan, sebelum aku menjalani operasi transpalasi mata, aku menuliskan surat ini dan menitipkan kepada nia.

"untuk Ayah yang selalu aku sayang, yah kini anakmu yang membangkang sudah tidak ada lagi dirumah, tidak ada lagi tiruan odi mu yang diajak bermain catur, sekarang ayah ga akan bisa lagi marah-marah karna sipembangkang ini udah pergi jauh.oiya ayah aku pergi bukan kerumah nia lagi tapi kerumah Tuhan yah, ayah pasti tidak akan bisa menemuiku lagi dan membujukku untuk pulang,
"untuk Ibu aku yang paling aku sayang , aku bahagia ketika mendegar ibu memanggilku dengan sebutan ana, anakku, akhirnya ibu bisa juga memanggilku dengan sebutan ana, aku rindu bu pelukan ibu lima tahun yang lalu, ibu yang selalu tidur disampingku menghapus air mataku ketika aku menangis, sekarang ibu sudah bisa memanggilku dg sebutan ana untuk terakhir kalinya , maafkan aku tidak pernah bisa menjadi seperti kak odi yang kalian banggakan,...
“Ayah, ibu aku menyayangi kalian, dari dulu aku ingin diperlakukan seperti kalian memperlakukan odi, meskipun yang ada dipikiran kalian hanya odi bahkan ayah dan ibu sampai melupkan aku, dan menyebutku odi , untuk terakhir kalinya Aku perkenalkan diri, nama aku ana cahaya seperti nama yang ayah ibu berikan
aku akan terus menyinari hidup ini dengan ketulusan cahaya yang aku miliki, ibu berjanjilah untuk tidak menangis lagi, karna mataku itu sebagai cahaya penerang disaat ibu berada didalam kegelapan,jangan biarkan airmata berharga itu terbuang percuma, hidup memang tidak pernah adil ibu, tapi kita bisa membuat keadilan itu berpihak pada kita dengan keyakinan dan ketulusan.
 untuk ayah aku sangat menyayangimu bahkan aku akan merindukan saat-saat kita mancing bersama,kini ana akan pergi menyusul kak odi yah, jangan khwatirkan ana lagi , ana baik-baik aja yah karna ada kak odi disini yg menjaga ana, maafkan ana yah karna tidak bisa menyamai odi karna ana anak perempuan bukan anak laki-laki . selamat tinggal. J jaga kesehatanmu bu jangan sakit lagi ya,..





Menjadi orang tua

Maa, kini tidur ku tak lagi nyenyak seperti dulu. Maa, kini ku sering terjaga di sepanjang malam ku. Maa, kini ku rasakan kepani...